LOGIKA KESADARAN
By: Supendi
“Education is live and live is
education”
“Wa qul jaa ‘al-haqqa wa
zahaaqal-baathil, inna baathila kaana zahuuqa”
Pendahuluan
Manusia dibekali dengan beberapa jenis alat (indera)
yang mampu merespon dan menjadi alur masuk untuk mendapatkan berbagai
pengetahuan, kadang banyak yang menganggap sepele sesuatu yang hadir dalam
kehidupan kita. Banayk orang sering terfokus sebuah term, dan menghilangkan
sebuah celah yang dianggap sepele karena tidak menentukan. Padahal sebuah selah
dalam pemikiran kita itu dapat menjadi satu fondasi yang menentukan untuk
bangunan kesadaran kita.
Satu pelajaran yang dapat kita ambil dari Deskartes,
dimana keragu-raguan dalam dirinya yang akhirnya memunculkan satu metode
filsafat yang kemudian berkembang menjadi dasar filosofis filsafat
rasionalisme. Berawal dari pertanyaan bagaimana basa dipercaya ketidak sebatang
kayu yang dicelupkan ke dalam air tampak bengkok, padahal sebenarnya tidak
bengkok. Ternyata indera begitu mudah diperdaya oleh realitas. Maka cara
berpikir filsafati itu dianggap tidak jelas dan dari ketidak jelasan itu muncul
suatu keragu-raguan dalam diri Deskarter, dan semakin ia berfikir justru
semakin yakin bahwa dirinya “tengah ragu”.
Bagi kalangan awam mempercayai asumsi yang tidak benar
sepintas lalu hal tersebut terlihat masuk akal, dan in diteruskan pada proses
jalan yang keliru bahkan menjadi fatalisme berfikir berkepanjangan. Ada satu
penggalan yang menarik dari akhir cerita Deskartes bahwa keyakinan bahwa
“dirinya yakin bahwa dirinya ragu” merupakan satu celah yang sangat disepelekan
kebanyakan orang. Padahal munculnya keragu-raguan ini justru timbul satu metode
yang berkembang dengan ungkapan yang cukup popular di kalangan para pemikir
“Cagito ergo sum”
Paulo Freire juga menggambarkan bagaimana celah
sederhana tadi merupakan sebuah perenungan individu, maksudnya sebuah
perenungan untuk mengenal lebih dalam tentang arti dan fungsi dari realitas
disekelilingnya. Hal inipun menjadi dasar bagi hakikat pendidikan agar seorang
manusia mengenal hakikat diri dan realitas disekelilingnya.
Ada satu benang merah yang coba kembali digagas
tentang bagaimana menemukan kesadaran, berpijak dari keragu-raguan dari sini
muncul celah yang dapat kita sebut metode “Cagito”
Perenungan dapat diartikan sebuah bentuk pengisolasian
diri yang dalam bentuknya menurut Freire ada dua macam, Pertama isolasi diri yang negative, pengisolasian inibercirikan
pandangan egoism dan meminta agar segala sesuatu selalu berkisar dalam
keberadaan diri seseorang. Isolasi ini cenderung eksklusif. Tipe Kedua isolasi diri yang inklusif,
isolasi ini akan membawa pada pengenalan diri dan sekaligus mengetahui akan
kelemahannya. Disamping akan mendorong pada pencarian terus-menerus bahwa
dirinya membutuhkan yang lain (the other) dan juga sebaliknya. Selain muncul
pandangan bahwa diri tidaklah dalam kesendirian, melainkan satu kesatuan utuh
dari cosmos ini. Karena itu manusia tidak berdaya dengan kesendiriannya, tapi
membutuhkan yang lain.
Dengan kesadaran melalui media isolasi (perenungan)
inilah kemudian kita mampu mengembangkan rahasia-rahasia kekuasaan diri. Secar
terus-menerus kita dipaksa untuk mengambil pilihan, maka dalam melakukan
pilihan inilah kita mesti berpaling kepada kekuatan diri untuk memunculkan
suatu pengetahuan.
Tipologi Kesadaran
Dari dua tipe perenungan di atas, orang harus
menjauhkan diri dari egoisme yang menghendaki pemenuhan diri, sebab hal
demikian akan melahirkan penindasa-penindasan gaya baru.
Kesadaran seseorang akan terpetakan sesuai kualitas
dan kategori yang dimiliki. Dalam hal ini Paulo Freire memetakan kesadaran
manusia dalam 3 kategori yang masing-masing memiliki karakter yang berbeda.
Kategori pertama disebut kesadaran Magis. Cirri kesadaran ini adalah
fatalism yang begitu kental, orang terperangkap dalam kesadaran bahwa yang ada
memang seharusnya ada sebagaimana adanya. Pandangan manusia begitu sederhana
melihat realitas sekitarnya dan sikapnya pun menyerahkan diri secara bulat,
jadi apa yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi.
Pada kategori ini manusia menjadi objek tertinda,
semua yang terjadi seolah-olah sudah takdir Tuhan, manusia tak kuasa
malampaui-Nya.
Kategori kadua adalah kesadaran Naif. Ditilik secara teoritis, kesadaran ini masih jauh dari yang
pertama, tapi masih tetap mengandung determinisme yang kental. Dalam hal
karakter, kategori ini masih menunjukkan kerapuhan argumentasi, serta analisis
permasalahan yang sangat sederhana.
Kategori yang ketiga adalah kesadaran Kritis. Kesadaran dalam kategori ini
adalah arti kesadaran yang sesungguhnya. Orang tidak begitu mudah pasrah
terhadap realitas, meskipun itu mengatasnamakan dogma sacral yang mencekik,
disini konsep manusia tidak rapuh oleh realitas, namun ia sendiri yang akan
mengubah realitas menjadi satu yang bermanfaat baginya.
Pandangan kesadaran kritis, tidaklah determinisme,
manusia punya kehendak (will) dan berbuat (Act), manusia sadar akan eksistensi
dirinya sendiri dan realitas sekelilingnya.
***
Kesimpulan
Kembali pada permasalahan menguak makna “sadar” yang
menjadi kata kunci dari sebuah proses perenungan. Kesadaran kritis sebagaiman
dikemukakan dalam pandangan Freire, kalau sebelumnya kita tahu bahwa kesadaran
itu tumbuh dari keragu-raguan dan memaksa kita harus mengisolasi diri,
selanjutnya kita bersiap-siap untuk menujukkan sikap terhadap tawaran-tawaran
dari luar diri kita. Tawaran (pilihan) ini tentu sangant beragam dari mulai
hegemoni serta bahasa-bahasa yang beragam.
Dengan menimbang kesadaran diri, maka setiap manusia
tidak taken for granted larut dalam
kenyataan sikap individu yang oleh Nietze disebut “manusia dekaden” dimana
otoritas tawaran-tawaran dari luar begitu kuat sampai manusia tidak mampu
keluar dari jeratan fatalisme.
Referensi
M. Mustafied: Modul Ansos,
Jojakarta 2006
M. Mustafied: Hand Out Kapitalisme,
M. Mustafied: Filsafat Tersembunyi
dalam Teori-teori social, Jakarta 2006
Sri Murtiningsih, Paulo Freire
Pendidkan Alat Perlawanan, Resis
Book, Yogyakarta, 2004
Achmadi, DR, Prof, Ideologi
Pendidikan Islam Paradigma Humanis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Karl Marx, Naskah-Naskah
ekonomi dan Filsafat, Hasta Mitra, Jakarta, 2000
0 komentar:
Posting Komentar