BAB
I
PENDAHULUAN
Filsafat Ilmu merupakan bukti perkembangan dunia pendidikan atau
kemajuan ilmu pengetahuan, di mana awal
ilmu pengetahuan dikembangkan juga berinduk dari filsafat. Filsafat Ilmu secara
khusus membahas tentang hakekat pengetahuan, realitas kebenaran, proses
seseorang memperoleh ilmu pengetahuan, dan manfaat atau hakekat kegunaan suatu
ilmu pengetahuan. Untuk itu, kemajuan ilmu pengetahuan memerlukan seperangkat
metode,
alat, dan prinsip yang dapat merumuskan suatu substansi pengetahuan
hingga menghantarkan pada keguanaan ilmu
pengetahuan, baik teoretis maupun
praksisnya.
Dalam perkuliahan
ini dibahas kerangka bangun ilmu pengetahuan (body of science) dan
substansi pengetahuan guna mengungkap hakekat kebenaran dan realitas, serta metode
apa saja yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan, dari mana dan ke mana
arah sumber pengetahuan, mengapa terjadi pergumulan dalam dunia pengetahuan di
Barat dan di Dunia Islam, mengapa pula terjadi pergumulan pengetahuan kedua
kutub dunia Barat dan Islam sehingga terjadi dikhotomi ilmu pengetahuan antara
Ilmu Islam dan Sains Barat, dan kemudian bagaimana mengintergrasikan Ilmu Islam
dan Sains Barat. Bagaimana pula sikap
kita sebagai ilmuwan muslim atau pendidik Islam (guru/dosen dalam rumpun keilmuan
Islam) apakah kita bersikap inklusif ataukah eksklusif terhadap perkembangan
dunia pendidikan, termasuk pendidikan Islam pada tingkat dasar hingga
pendidikan tinggi untuk kemajuan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
masyarakat dan pembangunan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Asumsi-Asumsi Dasar Proses Keilmuan Manusia.
Proses keilmuan manusia terjadi karena bertemunya subjek ilmu
dengan objek ilmu. Maka suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek,
objek dan pertemuan keduanya. Apa hakikat ketiga hal itu
dan bagaimana peran masing-masing unsur tersebut dalam proses keilmuan? dan
lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan ini, dalam sejarah filsafat, merupakan
persoalan kefilsafatan yang berkaitan dengan asumsi dasar dari proses keilmuan
itu sendiri. Tentang hal ini, ada banyak aliran kefilsafatan yang menyumbangkan
pemikirannya.
Berikut
akan dibahas, secara ringkas, empat aliran kefilsafatan; Rasionalisme, Empirisme,
Kritisisme, Intuisionisme. Dua aliran pertama memiliki perbedaan yang cukup
ekstrim, yang ketiga adalah aliran yang berupaya mendamaikan kedua aliran
sebelumnya. Sedang aliran keempat adalah aliran yang sampai saat ini sedang
mencari dukungan epistemologis dan juga metodologis untuk suatu pengetahuan
yang bersumber (origin) dari pengalaman (batini).
B.
Empirisme
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa rasionalisme merupakan
aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran ‘akal’, ‘idea’, ‘substansi,
‘form’, ‘kausalitas’, dan ‘kategori’ dalam proses keilmuan. Bertentangan dengan
rasionalisme yang memberikan kedudukan bagi rasio sebagai sumber pengetahuan,
empirisisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman
lahiriyah maupun pengalaman batiniyah.
Secara
estimologi, istilah empirisisme berasal dari kata Yunani emperia yang berarti
pengalaman. Aliran ini muncul di Inggris, pada awalnya dipelopori oleh Francis
Bacon (1561-1626), kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes,
seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley
(1685-1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776).
Thomas
Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala
pengenalan. Pengenalan intelektual tidak lain dari semacam perhitungan (kalkulus),
yaitu penggabungan data-data inderawi yang sama, dengan cara yang berlainan.
Dunia dan manusia sebagai objek pengenalan merupakan sistem materi dan
merupakan suatu proses yang berlangsung dengan tiada henti-hentinya atas dasar
hukum-hukum mekanisme. Atas pandangan ini, ajaran Hobbes merupakan sistem materialistis
pertama dalam sejarah filsafat modern.[1]
John Locke mengagumi metode Descartes, tetapi ia tidak
menyetujui isi ajarannya. Menurut Locke, rasio, rasio mula-mula harus dianggap
“as a white paper” dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Ada dua pengalaman:
lahiriyah (sensation) dan batiniyah (reflexion). Kedua sumber
pengalaman ini menghasilkan ide-ide tunggal (simple ideas). Jiwa
manusiawi bersifat pasif sama sekali dalam menerima ide-ide tersebut. Meski ia
juga mempunyai aktivitasnya, yaitu dengan menggunakan ide-ide tunggal sebagai
bahan bangunan, jiwa manusiawi dapat membentuk ide majemuk (complex ideas),
misalnya ide substansi, yaitu jika ide tunggal dapat selalu bersama.
Selanjutnya, Locke juga mengakui bahwa dalam dunia luar ada substansi-substansi,
tetapi kita hanya mengenal ciri-cirinya saja. Inilah yang kemudian dikenal
dengan substansi material, dan ini sekaligus menunjukkan sikap inkonsistensi
(atau incoherent, dalam bahasa Hume) pemikiran Locke.[2]
Berdasarkan prinsip-prinsip empirisisme, Berkeley
merancang teori yang dinamakan “immaterialisme”. Berbeda dengan Locke yang
masih menerima adanya substansi di luar kita, bagi Berkeley yang ada hanyalah
pengalaman dalam roh saja (ideas). “Esse est perceipi” (being is
being perceived), demikian ungkapan Berkeley yang terkenal. Ini
artinya dunia materiil sama saja dengan ide-ide yang saya alami. Sebagaimana
dalam bioskop, gambar-gambar film pada layar putih
yang dilihat penonton adalah sebagai benda yang real dan hidup. Menurut
Berkeley, ide-ide membuat saya melihat dunia materiil. Lalu bagaimana dengan
saya sendiri? Berkeley mengakui bahwa “aku” merupakan suatu substansi
rohani. Berkeley juga mengakui adanya Tuhan, sebab Tuhan merupakan asal-usul
ide-ide yang saya lihat. Jika orang mengatakan Tuhan menciptakan dunia, menurut
Berkeley bukan berarti ada dunia di luar kita, melainkan bahwa Tuhan
menunjukkan ide-ide kepada kita. Ini artinya Tuhanlah yang memutarkan film pada
batin kita.[3]
Aliran empirisisme memuncak pada David Hume. Ia
menerapkan prinsip empirisisme secara radikal dan konsisten. David Hume lahir
di Edinburgh tahun 1711. Di kota kelahirannya itu, ia menekuni bidang filsafat.
Karya terbesar Hume adalah A Teatise of Human Nature.
Buku ini ditulis Hume di Prancis ketika usianya masih sangat muda, 26 tahun.
Melalui karyanya ini Hume ingin memperkenalkan metode eksperimental sebagai
dasar menuju subjek-subjek moral.[4]
Buku tersebut terdiri atas tiga bagian. Pertama, mengupas
problem-problem epistemologi. Kedua, membahas masalah emosi manusia. Dan
Ketiga, membicarakan tentang prinsip-prinsip moral.
Filsafat Hume pada garis besarnya merupakan reaksi atas tiga hal:
(a) melawan rasionalisme terutama yang berkaitan dengan ajaran tentang innate
ideas yang dipakai sebagai landasan kaum rasionalis dalam usahanya
memahami realitas; (b) reaksi dalam masalah religi (dalam hal ini teologi Deis,
Katolik, dan Anglikan) yang mengajarkan adanya aksioma universal seperti hukum
kausalitas yang dapat menjamin pemahaman manusia akan Tuhan dan alam; (c)
melawan empirisisme Locke dan Berkeley, yang masih percaya pada adanya
substansi, meski dalam beberapa aspek, ia menyetujuinya.
Berikut ini akan penulis uraikan pemikiran Hume
sehubungan dengan reaksinya terhadap konsep substansi dan kausalitas.
1.
Substansi vs Relasi
Seperti
halnya kaum empirisis yang lain, David Hume berpendapat bahwa seluruh isi
pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi’.
Menurut Hume persepsi itu terdiri dari dua macam (tingkatan, pen.),
yaitu kesan-kesan (impresions) dan gagasan (ideas). Kesan adalah
persepsi yang masuk melalui akal budi, secara
langsung, sifatnya kuat dan hidup. Sedangkan gagasan adalah persepsi yang
berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Gagasan bisa diartikan cerminan dari
kesan-kesan; “kerja” kesannya adalah mendahului gagasan. Yang pertama bisa
disebut “pengalaman indrawi” dan yang kedua merupakan konsep atau
“makna”.[5] Jika
saya melihat seekor kuda, maka saya punya kesan tertentu (tentang yang saya
lihat); jika saya memikirkan tentang seekor kuda, saya memanggil suatu gagasan,
yang merupakan makna bagi saya dari sebuah istilah “kuda”. Seseorang
anak akan diberi gagasan tentang “jeruk”, maka terlebih dulu ia harus
mengenal objek “jeruk”. Bagaimana jika ia buta atau tuli? Hume
berargumen, jika kemampuan-kemampuan untuk memperoleh kesan dirintangi, maka
tidak hanya kesan yang hilang, tetapi sekaligus juga gagasan-gagasan yang
berhubungan dengannya.
Hume membedakan dua jenis kesan, yaitu sensasi dan
refleksi, serta dua jenis gagasan, yaitu memory dan imaginasi. Kesan sensasi
mucnul dari jiwa yang tidak diketahui sebab musababnya, sedang kesan refleksi
diturunkan dari gagasan-gagasan. Memory memiliki posisi yang teratur. Kalau
kita mengatakan bahwa seseorang memiliki memory yang baik, ini berarti orang
tersebut mampu mengingat kembali berbagai peristiwa sederhana secara teratur.
Adapun imajinasi adalah jenis gagasan yang mengkombinasikan ide (gagasan)
yang berasal dari kesan-kesan secara asosiasi (dalam arti, mengikuti
hukum asosiasi). Menurut Hume, manusia memiliki kecenderungan
intern untuk menghubung-hubungkan gagasan-gagasan menurut “keserupaan”,
“kedekatan”, atau hubungan “efek”. Tiga hal inilah yang disebut “relasi
natural” (di samping ia mengakui ada tujuh relasi filosofis). Dengan
dasar epistemologinya ini, Hume menolak konsep substansi, dari kaum rasionalis
dan teman sejawatnya, Locke dan Berkeley.
Menurut Hume, pengalaman memberikan kepada kita hanya
suatu kualitas khusus bukan suatu sub-stratum yang unik. Filsuf seharusnya
berusaha menunjukkan bahwa objek-objek harus dibedakan dari persepsi kita
terhadapnya. Hasil persepsi mengenai kualitas individual pada saat yang sama
tidak dapat memberikan pemahaman terhadap objek-objek eksternal. Apa yang mampu
kita pahami hanya terbatas dari hasil persepsi. Aktivitas pikiran manusia tidak
lebih dari hanya melakukan sintesis kualitas partikular. Hume lebih lanjut
menegaskan bahwa imajinasi bertugas memberikan
kesatuan atas kualitas partikular itu, tetapi dalam kesatuan arti yang
artifisial, kesatuan yang murni fiksional.
Oleh karena itu, tidaklah benar kalau ide (gagasan)
tentang substansi diturunkan dari hasil impresi (kesan). Sebab, apa yang
kita persepsi melalui mata adalah warna, apa yang kita persepsi melalui lidah
adalah rasa, apa yang kita persepsi melalui telinga adalah suara. Orang tidak
akan mengatakan bahwa substansi adalah warna, rasa, atau suara. Hume akhirnya
berkesimpulan bahwa ide tentang substansi adalah ide kosong.
2.
Kausalitas vs Induksi
Dalam pandangan Hume, adalah tidak benar jika kita mengatakan
adanya hubungan sebab-akibat antara berbagai kejadian, sebagai pertanda adanya
suatu bentuk hubungan yang mutlak di dunia, yang disebut hukum kausalitas. “Ini
jelas merupakan pemikiran yang kacau,”
demikian kata Hume. Semua yang diamati dalam realitas memang merupakan
keterhubungan berbagai kejadian secara terus menerus. Meski demikian, tidak ada
yang dapat kita amati atau kita lihat bahwa hal itu merupakan keterhubungan
sebab akibat yang mutlak, yang mesti akan terjadi demikian. Pengalaman manusia
tidak pernah bisa membuktikan adanya hukum itu atau dengan kata lain, hukum
keterhubungan antar berbagai kejadian itu tidak pernah bisa diamati.
Sebagai landasan pemikirannya, Hume memperkenalkan
pertimbangan filosofisnya. Jika ada dua benda atau kejadian, A dan B, pada
waktu yang terpisah, maka keduanya dapat dipisahkan dalam konsep. Ini berarti,
eksistensi yang satu dapat ditangkap tanpa mengandaikan eksistensi yang lain.
Maka jika ada pernyataan, bahwa sesuatu terajdi sebagai akibat dari sesuatu
yang lain, haruslah dianggap suatu kebenaran yang sementara, tidak mutlak.
Menurut Hume, manusia cenderung menerima konsep
kausalitas ini, sebenarnya hanya karena suatu “kebiasaan berpikir”,
yaitu karena dipengaruhi oleh bermacam-macam pengamatan yang telah
dilakukannya, lalu mau tidak mau bergerak dari kesan tentang satu kejadian pada
pikiran tentang apa yang biasanya mengikuti kejadian itu. Dari pengalaman “penggabungan”
itulah timbul gagasan “hubungan yang mutlak” itu, yang
kemudian disebut dengan hukum kausalitas.
Pengalaman “penggabungan” itu tidak lain adalah
problema induksi, bukan hukum mutlak yang a priori, bukan innate ideas
yang clear and distinc. Karena hubungan antara berbagai
hal, yang suatu saat dapat terpisah itu bersifat sementara, maka tidak mungkin
dapat diadakan suatu keharusan inferensi.
Di sini perlu diberi catatan, meski David Hume beralasan bahwa
manusia hanya bisa melakukan proses induksi terhadap fakta-fakta, untuk
membantah pandangan bahwa mansuai dapat menemukan “hukum alam’
atau “hukum universal” semisal kausalitas, bukan berarti ia
mengakui metode induksi sebagai media bagi suatu proses generalisasi. Dengan
begitu, justru Hume menunjukkan keterbatasan induksi. Karenanya, ia tidak
menyetujui segala proses generalisasi, apa lagi sampai menjadi “hukum alam”.
Demikianlah, argumen empirisisme dan terutama David
Hume dalam menolak konsep rasionalisme tentang adanya prinsip dasar yang a priori.
Sebaliknya mereka hanya percaya pada pengalaman, baik oleh inderawi lahiriyah
maupun batiniyah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan.
Menurut John Locke, pengagum metode Descartes, mula-mula rasio dianggap
sebagai sebuah kertas putih yang seluruh isinya berasal dari pengalaman
empiris.
Atas dasar tersebut John Locke membagi pengalaman menjadi dua yaitu:
1.
Pengalaman lahiriyah (sensation)
2.
Pengalaman batiniyah (reflexion)
Aliran empirisisme memuncak pada David Hume. Karya
tebesarnya A Treatise of Human Nature. Yang terdiri dari tiga bagian,
1.
Mengupas problem-problem epistimologi.
2.
Membahas masalah emosi manusia.
3.
Membicarakan tentang prinsip-prinsip moral.
Filsafat Hume pada garis besarnya merupakan reaksi atas tiga hal :
a.
Melawan rasionalisme terutama yang berkaitan dengan ajaran tentang Innate Ideas yang dipakai
sebagai landasan kaum rasionalis dalam usahanya memahami realitas.
b.
Reaksi dalam masalah religi.
c.
Melawan Empirisisme Locke dan Berkeley, yang masih percaya pada adanya
substansi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, “Agama, Kebenaran dan Relativitas,
Sebuah Pengantar” dalam Prof. Gregory Baum, Agama dalam
Bayang-bayang Relativisme, Sebuah Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim
tentang Sintesa Kebenaran Historis-Normatif, (Yogyakarta: Tiara Wacana
dengan Sisiphus, 1999).
________, Falsafah Kalam di Era Posmodenisme, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995).
________, Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat
Multikultural dan Multirelijius, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000.
________, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas?
(Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996).
Asy’ari, Musa, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir,
(Yogyakarta: LESFI, 1999).
Attas, Seyyed Naquib al-, Islam dan Filsafat Sains
(Bandung: Mizan, 1995).
Bakhtiar, Amsal, Drs., M.A., Filsafat Agama, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997).
Baum, Prof. Gregory, Agama dalam Bayang-bayang Relativisme
Sebuah Analisis Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim tentang Sintesa Kebenaran
Historis-Normatif, (Yogyakarta: Tiara Wacana dengan Sisiphus, 1999).
Bertens
K., Filsafat Barat dalam Abad XX, Jilid I, (Jakarta: Gramedia, 1981).
________,
Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, cet. Ke-18, 2001).
Hadiwiyono,
Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta, Kanisius, 1980).
Siswanto,
Joko, Sistem-sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
Delfgaauq,
Bernard, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Alih Bahasa Soejoo Soemargono,
(Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992).
Gazalba,
Sidi, Sistematika Filsafat (Buku Kedua, Pengantar Kepada Teori
Pengetahuan), (Jakarta: PT. Bulan Bintang, cet ke-5, 1991).
________,
Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1991).
Hanafi,
Ahmad, MA., Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991 cet.
ke-5).
Hardiman,
Budi, “Positivisme dan Hermeneutik, Suatu Usaha untuk Menyelematkan Subjek”,
dalam Basis, Maret, 1991.
Kattsoff,
Louis O., Pengantar Filsfat, Terj. Soejono Soemargono, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, cet Ke-2, 1987).
Madkour,
Ibrahim, Filsafat Islam, Metode dan Penerapannya, Terj. Yudian W., dan
Ahmad Hakim Mudzakir, (Jakarta: CV. Rajawali, 1988).
Nasution,
Harun, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1972).
Simuh,
Tasawuf dan Perkembanganya dalam Islam, (Jakarta: Rajawali Press, cet.
ke-2, 1997).
Siswomiharjo,
Koento Wibisono, “Ilmu Pengetahuan Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran dan
Perkembangannya Sebagai Penatar untuk Memahami Filsafat Ilmu”, Dalam Tim
Penyusun Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Klaten: PT. Intan Pariwara, 1997).
Soemargono,
Soejono (peny.), Berpikir secara Kefilsafatan, (Yogyakata: Nur Cahaya,
1988).
________,
Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983).
Sumaryono
E., Hermeneutika, Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999).
Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Penerbit Sinar
Harapan, 1985), cet. Ke-2.
________,
Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000).
Sutopo
HB., “Metode Mencari Ilmu Pengetahuan: Rasionalisme dan Emperisisme”
dalam M. Toyibi (ed.), Filsafat Ilmu dan Perkembangannya, (Surakarta:
Muhammadiyah University Press, 1999, cet ke-2).
Titus,
Harold H., dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, Terj. H.M. Rasyidi,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Verhak.,
dan Imam R. Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Tata Cara Kerja
Ilmu-ilmu, (Jakarta: PT. Gramedia, 1991).
[1] Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat
Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hal 33.
[2] Ibid, hal 36
[3] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet. Ke-18, hal 52
[4] Ibid
[5] Joko Siswanto, Sistem-sistem Metafisika
Bart, dari Aristoteles sampai Derrida,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal 51
0 komentar:
Posting Komentar