PERTUMBUHAN MADRASAH DI MASA AWAL

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Madrasah sebagai nama bagi suatu lembaga atau wadah yang mewadahi proses transformasi ilmu telah mengalami perkembangan pemaknaan dalam rentang sejarah perkembangan umat Islam sejak zaman Rasulullah SAW sampai sekarang. Madrasah dimaknai sebagai istilah yang menunjuk pada proses belajar dari yang tidak formal sampai yang formal. Madrasah adalah salah satu jenis lembaga pendidikan Islam yang diusahakan, di samping masjid dan pesantren.
Transformasi ilmu pengetahuan, terutama ilmu ke-Islam-an (pendidikan Islam)
telah berlangsung sejak masuknya Islam di suatu wilayah di mana Islam mulai diterima, diajarkan dan diamalkan oleh pemeluknya. Demikian halnya yang terjadi di Indonesia.[1] Hasil seminar masuknya Islam di Indonesia yang dilaksanakan di Medan tahun 1963 menginformasikan bahwa Islam masuk Indonesia pada abad I Hijriah atau abad VII Masehi[2]  yang dibawa oleh para pedagang dari Arab.[3] Melalui pesantren dan masjid-masjid juga madrasah-madrasah, aspek Islam[4] yang pertama kali dikembangkan atau diajarkan adalah aspek tasawuf yang kemudian disusul aspek fiqih, namun tidak berarti bahwa aspek fiqih tidak penting, mengingat tasawuf yang berkembang di Indonesia adalah tasawuf Sunni yang menempatkan fiqih pada posisi penting dalam struktur bangunan tasawufnya.[5] Hal ini bisa dipahami dari kurikulum pesantren dan madrasah yang dikembangkan pada waktu itu yang berkisar pada aspek tasawuf, fiqih, kalam, ilmu alat (nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain), tafsir (al-Qur’an dan hadits), dan sebagainya.
Namun demikian, tidak diketahui secara pasti cara pendidikan Islam itu dilakukan pada mula-mula Islam masuk Indonesia. Bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem, kelembagaan, bahkan metodologi kependidikan Islam? Bagaimana keberhasilan dan kegagalan suatu sistem, kelembagaan dan metodologi kependidikan Islam? Pertanyaan-pertanyaan di atas tidak bisa hanya dijawab dengan cerita, tetapi harus disertai bukti-bukti sejarah yang nyata.[6] Karena luasnya permasalahan terkait dengan perkembangan madrasah, maka penulis—dalam tulisan ini—hanya hendak memaparkan proses kelahiran dan dinamika madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam formal di Indonesia yang merupakan perkembangan lanjut atau pembaruan dari lembaga pendidikan pesantren dan masjid/surau.




BAB II
PEMBAHASAN

1.   Pengertian Madrasah
Kata “madrasah” terambil dari akar kata “darasa-yadrusu-darsan= belajar”. Kata madrasah sebagai isim makan, menunjuk arti “tempat belajar”.[7] Padanan kata madrasah dalam bahasa Indonesia adalah sekolah. Ditilik dari makna Arab di atas, madrasah menunjuk pengertian “tempat belajar” secara umum, tidak menunjuk suatu tempat tertentu, dan bisa dilaksanakan di mana saja, di rumah, di surau/langgar, di masjid atau di tempat lain sesuai situasi dan kondisi.
Dalam literatur Islam klasik (turats), dijumpai istilah madrasah dalam pengertian “aliran” atau “madzhab”. Para penulis Barat menerjemahkannya dengan school atau aliran, seperti Madrasah Hanafi, Madrasah Maliki, Madrasah Syafi’i, dan Madrasah Hambali.[8] Di sini, kata madrasah menjadi sebutan bagi sekelompok ahli yang mempunyai pandangan atau paham yang sama dalam ilmu-ilmu keislaman, seperti dalam bidang ilmu fiqih di atas.  Timbulnya madrasah-madrasah (aliran-aliran) tersebut ditandai dengan kebebasan intelektual pada masa puncak kejayaan perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, yakni pada masa Abbasiyah.

2.   Latar Belakang Berdirinya Madrasah
Pada pertengahan abad kedelapan Masehi atau abad kedua Hijriyah, merupakan masa-masa keemasan Islam (The Golden Ages of Islam). Kondisi ini berlangsung pada masa kekhalifahan Islam di bawah kekuasaan dinasti Abbasiyah (133-656 H/750-1258 M). Saat itu, dua per tiga bagian dunia dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Selain itu, tradisi keilmuan berkembang pesat, terjadi pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Dia adalah khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada 786 M hingga 809 M.
Salah satu puncak pencapaian yang membuat nama Khalifah Harun al-Rasyid melegenda adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa itu dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, dilakukan penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, Suriah, dan India ke dalam bahasa Arab. Ribuan buku yang diambil dari perpustakaan-perpustakaan lama, dibawa ke Irak untuk diterjemahkan dan sejumlah perpustakaan baru didirikan. Gerakan penerjemahan ini berlangsung dari tahun 750-850 M. Kedua, karya-karya yang diterjemahkan itu kemudian diberi komentar oleh para sarjana Islam. Teori-teori yang ada diberi penjelasan dan disesuaikan dengan ajaran Islam. Melalui renungan, pengamatan, penelitian, dan eksperimen (percobaan). Ketiga, didirikan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi, seperti Baitul Hikmah (perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu pengetahuan dan peradaban terbesar pada masa itu). Selain itu, masjid-masjid, istana, dan rumah para sarjana difungsikan sebagai tempat belajar.[9]

3.   Madrasah Nizamiyah
Ada beberapa sumber menyebutkan sebelum berdirinya Madrasah Nizamiyah di Baghdad, paling tidak ada empat madrasah besar di Nishapur, yaitu Madrasah Baihaqiyyah, Madrasah Assa’diyyah yang dibangun oleh Amir Nasr bin Subuktakin, Madrasah Abu Sa’ad al-Astarabadi dan Madrasah yang didirikan untuk Abu Ishaq al-Isfarayini.[10] Akan tetapi Lembaga pendidikan Islam yang pertama menerapkan sistem yang mendekati sistem pendidikan yang dikenal sekarang adalah madrasah-madrasah Nizamiyah tersebut.[11]
Madrasah Nizamiyah didirikan oleh Nizam al-Mulk, adalah seorang wasir (perdana menteri) dinasti Seljuk pada masa pemerintahan sultan Alp Arslan (w. 1072M) dan Malikiksyah (1072-1092M).[12] Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Qiniq dalam masyarakat Turki Oquz.[13] Nama aslinya adalah Abu Ali al-Hasan bin Ali bin Ishaq at-Tusi. Ia pernah menuntut ilmu pada Hibatullah al-Muwaffaq, seorang ulama Syafi’i di Nisabur. Beliaupun berpaham Asy’ariyah.[14]
Kemudian, latar belakang berdirinya madrasah Nizamiyah yang paling mendasar dalam literatur sejarah peradaban Islam adalah adanya perseteruan antara kelompok sunni; dinasti Saljuq dengan kelompok Syi’ah; dinasti Fatimiah di mesir.[15]
Madrasah Nizamiyah ini termashur seluruh dunia. Pada tiap-tiap kota Nizam Al-Mulk mendirikan  satu madrasah yang besar, diantaranya: di Baghdad, Balkh, Naisabur, Harat, Ashfahan, Basran, Marw, Mausul. Tetapi madrasah Nizamiyah Bagdad adalah yang terbesar dan terpenting dari semua madrasah itu.[16] Madrasah Nizamiah ini dibangun pada tahun 457H/1065M selesai tahun 459H. Madrasah ini tetap hidup sampai pertengahan abad ke-14 Masehi yaitu dikunjungi oleh Ibnu Batutah. Mengutip dari bukunya Abuddin nata “Sejarah Pendidikan Islam”, Ahmad Syalabi berkeyakinan bahwa pasar Al-Chaffafin yang terdapat di Bagdad saat ini adalah tempat di mana Madrasah Nizamiyah dulunya berdiri.[17]
Tujuan Nizam Al-Mulk mendirikan madrasah-madrasah itu ialah untuk memperkuat pemerintahan Turki saljuq dan menyiarkan mazhab keagamaan pemerintahan. Sultan-sultan Turki adalah dari golongan ahli Sunnah. Oleh karena itu, madrasah-madrasah Nizamiyah ini menyokong Sultan dan menyiarkan mazhab ahli sunnah ke seluruh rakyat.[18]
a.   Sistem Pendidikan Madrasah Nizamiyah
Sistem pendidikan di Madrasah Nizamiyah secara sederhana memiliki komponen sebagai berikut:
1.   Tujuan Pendidikan Madrasah Nizamiyah Bagdad
Tujuan pendidikan madrasah Nizamiyah tidak terlapas dari tiga tujuan pokok, yaitu:
a.    Mengkader calon-calon ulama yang menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah
b.   Menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajarka mazhab Sunni dan menyebarkan ke tempat-tempat lain
c.    Membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya khusus di bidang pendidikan dan managemen
Selain itu, pendidikan juga ditujukan untuk membangun sistem madrasah yang baik dan berprestasi serta membentuk calon-calon ulama dan birokrat yang mempunyai wawasan.[19]
2.   Kurikulum dan Metode Pengajaran madrasah Nizamiyah Bagdad
Motivasi pendidikan madrasah Nizamiyah adalah pembinaan dan penyebaran paham Sunni guna menghadapi paham Syi’ah. Maka, ilmu kalam diajarkan secara khusus dan intensif. Harus diakui bahwa beberapa pengajar pada madrasah ini juga dikenal ahli dalam ilmu kalam, contohnya: Imam Al-Harmain Abul Ma’ali Yusuf Al-Juwaini (wafat 1084M/478H) dan Abdul Hamid Al-Ghazali (wafat 1111M/505H).[20]
Mengutip dari bukunya Abudin nata, Mahmud Yunus mengatakan bahwa kurikulum madrasah Nizamiyah tidak diketahui dengan jelas. Akan tetapi dapat disimpulkan bahwa materi-materi ilma syari’ah diajarkan  di sini sedangkan ilmu hikmah (filsafat) tidak diajarkan. Fakta lain yang mendukung ialah:
a.       Tidak ada seorangpun diantara ahli sejarah mengatakan bahwa di antara materi pelajaran terdapat ilmu-ilmu umum
b.      Guru-guru pengajar merupakan ulama syari’ah
c.       Pendiri madrasah ini bukan pembela ilmu filsafat
d.      Zaman berdirinya madrasah ini, zaman penindasan filsafat.[21]
Pelajaran di Madrasah ini juga mempelajari Al-Quran dengan membaca, menghafal dan menulis, sastra Arab, sejarah Nabi Saw. Sumber lain mengatakan bahwa pada materi fiqh, mahasiswa menyalin silabus (ta’liqah) dalam proses dikte. Mereka hanya betul-betul menyalin dengan sangat sedikit perubahan.
3.   Tenaga  Pengajar dan Pelajar Madrasah Nizamiyah Bagdad
Guru-guru dan ulama-ulama yang termashur serta memiliki kompetensi di bidangnya dipilih untuk mengajar di madrasah ini. Pengajar selalu dibantu seorang pembantu. Pembantu berfungsi sebagai asisten guru. Tugasnya menjelaskan bagian-bagian yang sulit dipahami setelah guru memberikan kuliah.[22]  Status dosen ditekan pengangkatan dari khalifah dan bertugas dengan masa tertentu.[23] Nizam juga menyediakan beasiswa dan memberi fasilitas asrama.
4.      Pendanaan dan Sarana Madrasah Nizamiyah
Dalam pembangunan madrasah, Nizam menyediakan dana wakaf untuk membiayai mudarris, imam dan mahasiswa yang menerima beasiswa. Dengan dana itu, ia menddirikan madrasah-madrasah Nizamiyah hampir seluruh wilayah kekuasaan bani Saljuk. Ia mendirikan perpustakaan dengan kurang lebih 6.000 jilid buku lengkap dengan katalognya.[24]



4.   Kelahiran Madrasah Nizamiyyah
Madrasah Nizamiyyah didirikan pada masa pemerintahan Bani Saljuq oleh Perdana Menteri (Wazir) Ghawam al-Din Abu- 'Ali Hasan Ibn Ishaq Khauja, yang dikenal dengan panggilan akrab Nizam al-Mulk (1018-1092 M). Nizam al-Mulk adalah ilmuwan Muslim yang mengarang buku Siyasat Nama, suatu karya yang oleh Mehdi Nakosteen dinilai sebagai karya klasik di bidang pendidikan Islam. Di samping itu, buku tersebut juga menunjuk­kan bahwa Nizam al-Hulk adalah seorang politisi yang ilmuwan. Di dalam buku tersebut dikupas perihal karakter dan proses pendi­dikan bagi para penguasa, para menteri, dan para pejabat peme­rintah lainnya.
Madrasah-madrasah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk di­sebut sebagai madrasah Nizamiyyah, suatu penamaan yang menis­batkan nama pendirinya. Kemasyhuran madrasah ini sangat dikenal di seluruh wilayah Islam. Keberadaannya dapat ditemui hampir di setiap kota, antara lain di Baghdad, Balkh, Naisabur, Herat (Iran), Basrah, Isfahan, Merv, Mosul (Irak), dan sebagainya. Perkembangan madrasah ini memang tak bisa dilepaskan dari diri peran aktif Nizam al-Mulk. Mulanya ia hanya membangun beberapa madrasah.
Dari sekian banyak madrasah, madrasah Nizamiyyah di Baghdad merupakan yang terbesar dan yang terkenal. Madrasah ini terletak di pinggir sungai Dajlah (Tigris), di tengah-tengah pasar Selasa di Baghdad, dan dibangun antara tahun 457 H (1065 M) hingga tahun 459 H (1067 M). Dapat dikatakan bahwa madrasah Nizamiyyah adalah madrasah fiqih, dan bukan madrasah filsafat. Apalagi jika diingat bahwa zaman itu merupakan zaman penindasan filsafat dan para filosofnya.

5.   Tujuan Pendirian Madrasah Nizamiyyah
Tujuan utama pembangunan madrasah Nizamiyyah di Baghdad adalah untuk mengajarkan hukum mazhab Syafi'i dengan penekanan pada pengajaran fidih dan teologi. Menurut Azra, madrasah tersebut mempunyai komitmen kuat untuk berpegang teguh kepada doktrin Asy'ariyah dalam teologi Islam (kalam) dan ajaran Syafi'i dalam hukum Islam (fiqih). Selain tujuan utama tersebut, pembangunan madrasah Nizamiyyah juga didasarkan pada beberapa motif. Dalam hal ini, Hasan Asari menyebutkan ada empat Motif, yaitu:
a.       Pendidikan. Selain sebagai politisi, Nizam al-Mulk juga seorang sarjana sehingga perhatiannya pada dunia pendidikan berupa pembangunan madrasah merupakan hal yang pantas dan wajar.
b.      Konflik antar kelompok keagamaan. Sebelum Nizam al­Mulk berkuasa, kedudukan Perdana Menteri dipegang oleh al-Kunduri yang beraliran Mu'tazilah. Salah satu kebijakan al-Kunduri adalah mengusir dan menganiaya para penganut Asy'ariyah. Ketika Nizam al-Mulk menjabat sebagai Per­dana Menteri, ia juga harus berhadapan dengan kelompok Mu'tazilah. Dalam konteks ini, oleh Nizam al-Mulk pem­bangunan madrasah dimaksudkan sebagai salah satu usaha untuk melawan kelompok Mu'tazilah.
c.       Pendidikan bagi pegawai pemerintah. Sebagai seorang wazir, Nizam al-Mulk menjalankan sistem administrasi negara secara sentralistik. Penduduk yang dipimpinnya memiliki latar belakang suku bangsa, budaya, dan agama yang ber­variasi. Atas kenyataan ini, pendidikan di madrasah dimak­sudkan untuk menghadirkan para lulusan yang memiliki ke­samaan visi guna mendukung pemerintahannya.
d.      Politik. Bagi Nizam al-Mulk, madrasah Nizamiyyah juga berfungsi sebagai alai politik. Dengan madrasahnya, ia berusaha membangun hubungan baik dengan para ulama dan masyarakat sehingga posisi pemerintahannya tetap stabil.
Selama masa hidupnya, Nizam al-Mulk secara ketat mengontrol scinua madrasah Niza-miyyah, termasuk di dalamnya sistem pen­danaan madrasah yang berasal dari wakaf pemerintah. Kontrol atas madrasah tersebut dimuat di dalam Dokumen Wakaf Madrasah Nizamiyyah. Substansi dari dokumen tersebut, sebagaimana di­ungkapkan oleh A.S. Tritton, adalah sebagai berikut.
a.    Madrasah Nizamiyyah adalah wakaf yang disediakan untuk kepentingan mazhab Syafi'i.
b.   Harta benda yang diwakafkan kepada madrasah Nizamiyyah adalah demi kepentingan penganut mazhab Syafi'i. Pejabat-pejabat utama madrasah Nizamiyyah harus ber­mazhab Syafi'i.
c.    Madrasah Niza-miyyah harus memiliki seorang tenaga pengajar di bidang kajian al-Qur'an dan bahasa Arab. Setiap staf menerima bagian tertentu atas penghasilan yang bersumber dari harta wakaf madrasah Nizamiyyah.
d.   Sebagai suatu lembaga pendidikan, madrasah Nizamiyyah me­miliki sarana-sarana yang cukup lengkap, antara lain ruang belajar dalam jumlah banyak, ruang perpustakaan yang cukup besar, sejumlah asrama untuk pelajar, staf, dan para gurunya, dan juga satu masjid yang terletak tidak jauh dari lokasi madrasah. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan, madrasah Nizamiyyah merupakan lembaga pendidikan Islam yang sangat “modern” pada masanya.

6.      Madrasah di Indonesia
Salah satu hal yang penting dan perlu disimak dalam sejarah perkembangan penyelenggaraan sekolah-sekolah agama ialah lahirnya Keppres No. 34 tahun 1974 tantang tanggungjawab fungsional pendidikan dan latihan serta Inpres No. 15 tahun 1974 tentang pelaksanaan Keppres No. 34 tahun 1974.[25]
            Dalam realitas pendidikan Islam di tanah air, saat dibicarakan tentang lembaga pendidikan Islam, selain pesantren, maka yang segera terbayang di benak kita adalah madrasah. Institusi pendidikan ini lahir pada awal abad XX M, yang dapat dianggap sebagai periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Memasuki abad XX M, banyak orang Islam Indonesia mulai menyadari bahwa mereka tidak akan mungkin berkompetisi dengan kekuatan-kekuatan yang menantang dari pihak kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen, dan perjuangan untuk maju di bagian-bagian lain di Asia, apabila mereka terus melanjutkan kegiatan dengan cara-cara tradisionaldalam menggerakan Islam.[26]
Menurut Maksum, ada dua faktor yang melatarbelakangi berkembangnya madrasah di Indonesia. Yang pertama, madrasah muncul sebagai respons pendidikan Islam terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda, dan kedua, karena adanya gerakan pembaruan Islam di Indonesia yang memiliki kontak cukup intensif dengan gerakan pembaruan di Timur Tengah.[27]
Madrasah bukan lembaga pendidikan Islam asli Indonesia, tetapi berasal dari dunia Islam Timur Tengah yang berkembang sekitar abad ke-10 atau 11 M. Kehadiran madrasah di Indonesia menunjukkan fenomena modern dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia. Kemunculan dan perkembangan madrasah di Indonesia tidak lepas dari adanya gerakan pembaruan Islam[28] yang diawali oleh usaha sejumlah tokoh intelektual agama Islam yang kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam baik di Jawa, Sumatra, maupun Kalimantan.[29] Organisasi sosial keagamaan yang menerima sistem pendidikan modern di Indonesia kemudian berlomba-lomba mendirikan madrasah yang tersebar di berbagai wilayah. Namun, sulit sekali memastikan kapan tepatnya istilah madrasah itu dipakai di Indonesia dan madrasah mana yang pertama kali didirikan.
Madrasah di Indonesia berkembang setelah berdirinya organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan, seperti Jam’iyyatul Khair (1905), Muhammadiyah (1912) oleh K.H. Ahmad Dahlan [1869-1923]), Al-Irsyad (1913) oleh Ahmad Ibn Muhammad Surkatî al-Anshâri [w.1943]), Mathla’ul Anwar (1916) di Banten, Persis (1923) di Bandung oleh Haji Zamzam (1894-1952) dan Haji Muhammad Junus serta Ahmad Hassan (1887-1958), Nahdlatul ‘Ulama (1926) oleh K.H. Hasyim Asy’ari, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (1928), dan al-Jami’atul Washliyyah (1930).
Setelah Indonesia merdeka (1945) dan Departemen Agama berdiri (3 Januari 1946), pembinaan madrasah menjadi tanggung jawab departemen ini. Sesuai dengan tuntutan zaman dan masyarakat, Departemen Agama menyeragamkan nama, jenis, dan tingkatan madrasah yang beragam tersebut, sebagaimana yang ada sekarang. Berdasarkan komposisi mata pelajaran, madrasah terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, madrasah yang menyelenggarakan pelajaran agama 30% sebagai mata pelajaran dasar dan pelajaran umum 70%. Statusnya ada yang negeri dan dikelola oleh Depag, dan ada yang swasta dan dikelola oleh masyarakat. Jenjang pendidikannya adalah: 1) raudlatul athfal atau bustanul athfal (tingkat taman kanak-kanak); 2) madrasah ibtidaiyah (tingkat dasar); 3) madrasah tsanawiyah (tingkat menengah pertama), dan 4) madrasah aliyah (tingkat menengah atas). Kedua, madrasah yang menyelenggarakan pendidikan agama dengan model seluruh mata pelajarannya adalah materi agama, yang sering dikenal dengan madrasah diniyah. Jenjang pendidikannya; madrasah diniyah awwaliyyah (tingkat dasar), madrasah diniyah wustha (tingkat menengah pertama), dan madrasah diniyah ‘ulya (tingkat menengah atas).
Sejak tahun ajaran 1987/1988, berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 1987, muncul madrasah aliyah model baru yaitu Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Tujuannya untuk mempersiapkan siswa agar memiliki kemampuan dasar dalam bidang ilmu agama Islam dan bahasa Arab yang diperlukan untuk melanjutkan ke IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atau dapat langsung bekerja di masyarakat dalam bidang pelayanan keagamaan.  MAPK ini sejak tahun ajaran 1987/1988 telah dibuka di beberapa Madrasah Aliah Negeri (MAN) sebagai pilot project, yaitu MAN Ciamis, MAN Yogyakarta, MAN Jember, Padang Panjang dan MAN Ujung Pandang.[30]
Pada akhir dekade 1980-an terjadi pengintegrasian madrasah dalam sistem pendidikan nasional, yakni dengan lahirnya Undang-undang N0.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) yang menegaskan bahwa pendidikan keagamaan menjadi salah satu jenis pendidikan di Indonesia, di samping pendidikan akademik, pendidikan profesional, dan pendidikan kejuruan.[31] Implikasi dari UUSPN terhadap pendidikan madrasah dapat dilihat dari kurikulum semua jenjang madrasah, dari ibtidaiyah sampai ‘aliyah. Secara umum, penjenjangan madrasah paralel dengan penjenjangan pada lembaga pendidikan umum (SD, SMP dan SMA).
Dengan adanya SKB Tiga Menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri nomor 6 Tahun 1975, nomor 037/U/1975, dan nomor 36 Tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah, Keputusan Menteri Agama nomor 73 tahun 1987, dan Undang-undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, maka dapat dikatakan bahwa secara politik pemerintah telah ikut serta dalam upaya pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.
Menurut Prof. Mastuhu, pada era globalisasi ini keunggulan adalah kehebatan yang terus tumbuh secara konsisten, tidak pernah berakhir, dan berumur melampaui umur pendiri atau pengelolanya. Visi itulah yang harus dibawa oleh instansi yang dikelola untuk dilaksanakan dan dikembangkan. Oleh pendiri visioner, lembaga dipandang sebagai learning organization (organisasi pembelajaran dalam perspektif untuk mengembangkan institusi dan kariernya di masa depan), bukan earning organization (tempat mencari penghasilan). Pepatah mengatakan, “apa yang bisa anda berikan, bukan apa yang akan anda dapatkan”.[32]
              Institusi madrasah secara kelembagaan berdiri pada awal abad ke- 20 M. Abad tersebut bisa dikatakan merupakan periode pertumbuhan madrasah dalam sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Keberadaan madrasah pertama kali ditemukan misalnya dengan munculnya Madrasah Mamba’ul Ulum Kerajaan Surakarta tahun 1905 dan Sekolah Adabiyah yang didirikan oleh Syeh Abdullah Ahmad di Sumatra Barat tahun 1909. Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan Islam yang telah ada. Berdirinya madrasah adalah bagian dari kesadaran umat Islam Indonesia untuk membangun kekuatan melawan kolonialisme Belanda, penetrasi Kristen serta keinginan untuk maju sejajar dengan bangsa-bangsa lain di Asia.[33]
Dalam era global saat ini, madrasah unggulan menjadi keniscayaan. Oleh karena itu. ada beberapa pemikiran tentang perbaikan yang ditawarkan oleh Prof. Mastuhu dalam bukunya Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, halaman 61, pertama, menyempurnakan kurikulum tahun 1994 sehingga konsep ideal tentang sinergitas ilmu umum dan agama terwujud. Kedua, setiap mata pelajaran harus dijadikan alat dan tujuan. Misalnya, mata pelajaran biologi dijadikan sebagai alat menumbuhkembangkan IMTAK, tetapi dapat juga dipandang sebagai tujuan untuk dijadikan dasar pengembangan ilmu kedokteran. Ketiga, seiring dengan perampingan jumlah mata pelajaran dan dilakukan pilihan ketat dan tepat, maka mata pelajaran yang ditawarkan benar-benar strategis untuk dikembangkan dalam masa-masa mendatang dan mampu mendasari pemikiran literal.Keempat, perlu dibudayakan penggunaan istilah-istilah baru sebagai pengganti istilah-istilah lama yang menunjukkan adanya dikotomi. Misalnya, tidak menggunakan istilah “fakultas agama” dan “fakultas umum”. Lebih tepat digunakan istilah fakultas dakwah, tarbiyah, adab, syari’ah sebagaimana fakultas kedokteran, ekonomi, psikologi dan lainnya. Kelima, pendidikan madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah tidak berdiri sendiri tetapi saling melengkapi satu dan lainnya.[34]

BAB IV
KESIMPULAN

Madrasah pada awalnya merupakan perkembangan dari institusi pendidikan Islam di surau/masjid dan pesantren. Selanjutnya, madrasah tidak selalu harus memiliki penekanan yang sama dengan institusi yang membidani kelahirannya, serta harus bisa bersama-sama tumbuh berkembang dan saling melengkapi. Perkembangan madrasah tidak sepenuhnya merupakan kelanjutan lembaga pendidikan tradisional yang sudah ada sebelumnya.
Ada dua faktor yang melatarbelakangi pertumbuhan madrasah di Indonesia, yakni, faktor adanya respons terhadap politik kolonial Belanda dan faktor munculnya pembaruan pemikiran keagamaan, yakni dengan munculnya gerakan pembaruan yang dimotori oleh tokoh intelektual muslim di berbagai daerah dan organisasi sosial keagamaan.
Berkat dukungan politik pemerintahan Indonesia dengan dikeluarkannya keputusan bersama mentari dan UU Sistem Pendidikan Nasional, maka semakin
memperkuat posisi madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Ansari, Endang Saifuddin. 1991. Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya. Jakarta: Rajawali Press.

Asrohah, Hanun. 2001. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Azra, Azumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII. Bandung: Mizan.

--------------1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 3.

Fuad, Mahsun. 2005. Hukum Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris.Yogyakarta: LKiS.

Makdisi, George. 1992. “Typology of Institutions of Learning” dalam An Anthology Studies oleh Issa J. Baullata.

Montreal: McGill Indonesia IAIN Development Project.

Maksum. 1999. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos.

Mastuhu. 1999.Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana

Nasution, Harun. 1985. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press.

Noer, Deliar. 1995. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES.

Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. Jakarta:

Kencana.. 2000. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru.Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Stanton, Charles Michael. 1990. Higher Learning in Islam: tha Classical Period, AD. 700-1300. Maryland: Rowman and Littlefield Inc.

Steenbrink, Karel A. 1994. Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES.

Syalabi, Ahmad. 1987. Al-Tarbiyah al-Islamiyah, Nuzumuha, Falsafatuha, Tarikhuha. Kairo: Maktabah al- Nahdlah al-Mashriyyah.

Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. 1994. Jakarta: Golden Terayon Press.

Yunus, Mahmud. 1995. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Mutiara Sumber Widya.


[1] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1995), cet. Ke-4, hal. 10.
[2] Endang Saifuddin Ansari, Wawasan Islam; Pokok-pokok Pikiran tentang Islam dan Umatnya (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 253.
[3] Menurut Pijnapel yang kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje (sarjana Belanda), menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari anak Benua India, bukan dari Arab atau Persia. Namun, Moquette, sarjana Belanda juga mengatakan bahwa tempat asal Islam Nusantara adalah Gujarat. Pendapat ini telah dibantah oleh Fatimi yang menyatakan bahwa asal Islam Nusantara adalah Bengal. S.M.N. Al-Attas memegang teori yang mengatakan bahwa Islam berasal dari Arab, bukan India. Menurutnya ada dua alasan; pertama, sebelum abad XVII seluruh literature keagamaan Islam tidak menyebut dan mencatat satu pengarang muslim India atau karya yang berasal dari India. Kedua, nama-nama dan gelar pembawa Islam ke Nusantara menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Arab atau Persia. Tampaknya, Azra cenderung kepada pendapat Al-Attas. Lihat Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 24-36. Lihat juga Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia; Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris (Yogyakarta: LKiS, 2005), hal. 28-29.
[4] Menurut Harun Nasution, Islam membawa ajaran yang tidak hanya satu segi, tetapi mengenai berbagai segi kehidupan manusia. Yaitu aspek ibadah, sejarah dan kebudayaan, politik, lembaga-lembaga kemasyarakatan, hukum, teologi, filsafat, mistisisme, pembaruan dalam Islam, pendidikan dan lain-lainnya. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid 1 dan 2. Lihat juga Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Cet. Ke-3, Jilid 2 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 253-259.
[5] Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis Perkembangan Hukum Islamdan Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 3.
[6] Menurut Maksum, buku-buku sejarah pendidikan Islam di Indonesia sejauh ini agaknya tidak pernah menginformasikan adanya lembaga pendidikan yang disebut madrasah pada masa-masa awal penyebaran dan perkembangan Islam di Nusantara. Lihat Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 79. Lihat juga Azumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000) Cet. ke-2, hal. 86-89.
[7] A.W. Munawir, Kamus Al-Munawir Arab-Indonesia(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), hal. 429.
[8] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), Jilid 3, hal. 105.
[9]Madrasah Nizamiah, Sejarah dan Perkembangannya dalam http://mazguru.wordpress.com/2009/03/30/madrasah-nizamiyah-sejarah-dan-perkembangannya/, diakses 20 Juni 2011
[10] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 101
[11] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 44-45               
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam III, (Jakarta:Grafindo Persada, 1993), 73
[13] G. E. Bosworth, Dinasti-Dinasti, Judul Asli: The Islamic Dinasties, Penerj:Ilyas Hasan, (Menchester: Mizan, 1993), cet. Ke-1, 142
[14] ­­­Nina M. Armando (ed. Bahasa), Ensiklopedia Islam , (Jakarta: Icthiar Baru van Hoeve, 2005), 222
[15] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 742
[16] Mahmud Yunus, Pendidikan Islam : Dari Zaman Nabi.., 72
[17] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 62
[18] Mahmud Yunus, Pendidikan Islam : Dari Zaman Nabi.., 72-73
[19] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), 71
[20] Ibid, hal.  65
[21] Ibid hal..., 72
[22] Ibid, hal.  67
[23] Nina M. Armando (ed. Bahasa), Ensiklopedia.hal. 224
[24] Op cit, hal 71
[25] Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 97.
[26] Mahmud  Arif,Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: Lkis, 2008), h. 199.
[27] Maksum, Madrasah, hal. 82.
[28] Dengan menggunakan rentang waktu antara 1900 sampai dengan 1945, Karel A. Steenbrink mengidentifikasi empat faktor yang mendorong gerakan pembaruan Islam di Indonesia awal abad 20, antara lain: (1) faktor keinginan untuk kembali kepada al-Qur’an dan hadits; (2) faktor semangat nasionalisme dalam melawan penjajah; (3) faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya, dan politik; dan (4) faktor pendidikan Islam di Indonesia. Lihat Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Cet. ke-2 (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 26-29.
[29] Tentang asal-usul gerakan pembaruan Islam dan perkembangannya di Indonesia, lihat Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. Ke-7.
[30] Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam, Jilid 3, hal. 108-109.
[31] Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Golden Terayon Press, 1994).
[32] Mastuhu, Sistem Pendidikan Nasional Visioner, Cet. I (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hal. 132-133.
[33] Tim Direktorat Pendidikan Madrasah, Wawasan Pendidikan Karakter dalam Islam, (Jakarta: Tim Direktorat Pendidikan Madrasah, 2010), h. 20.
[34] Mastuhu,Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Cet ke-2 (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 61-62.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.