KEILMUAN ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan epistemologis.
Bidang epistemologis ini menempati posisi yang sangat karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan
ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutanya kepiawaian dalam menentukan epistemologi akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang pertumbuhan dan perkembangan keilmuan dalam Islam, faktor-faktor pedorong, karakteristik, pengklasifikasian dan landasan epistemologinya serta wataknya dalam perjumpaan dengan ilmu pengetahuan barat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pertumbuhan Keilmuan Dalam Islam
Dalam dunia Islam  ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam Al-Qur’an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW, mengenai wahyu tersebut. Al-‘Ilm itu sendiri di kenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda Allah SWT disebut juga sebagai Al-Ilm dan ‘Alim, yang artinya “Yang Mengetahui” atau “Yang Maha Tahu”. Ilmu adalah salah satu dari sifat Utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT.
Hal ini mengindikasikan bahwa dalam membangun ilmu pendidikan Islam harus berorientasi kepada Al-Qur’an dan Hadits yang statusnya adalah wahyu. Dalam tulisan M. Solly Lubis, menyatakan bahwa dasar pengatahuan ada beberapa macam yaitu : wahyu, intuisi dan penalaran (cirinya adalah logis dan analisis).[1] Menurutnya wahyu dan intuisi termasuk dasar pengetahuan yang non analitis. Melalui wahyu yang disampaikan oleh Tuhan kepada utusan-Nya dengan perantara malaikat dan diteruskan kepada umat manusia sehingga mereka memperoleh pengetahuan melalui keyakinan dan kepercayaan bahwa apa yang diwahyukan itu adalah suatu kebenaran. Demikian juga intuisi menjadi dasar pengetahuan meskipun tidak mempunyai logika dan pola pikir tertentu.[2]
Keterangan tafsir sering ditekankan sehubungan dengan kelima ayat Al-Qur’an yang paling pertama diwahyukan Q. S. Al-‘Alaq ayat 1-5, antara lain bahwa ajaran Islam sejak awal meletakkan semangat keilmuannya pada posisi yang amat penting. Banyaknya ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW tentang ilmu antara lain memberi kesan bahwa tujuan utama hidup ini adalah memperoleh ilmu tersebut.
Dalam hubungan tersebut, sebagian ahli menerangkan perkembangan ilmu dalam Islam dengan melihat cara pendekatan yang ditempuh kaum muslimin terhadap wahyu dalam menghadapi suatu situasi dimana mereka hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut pendekatan tersebut generasi pada masa Nabi Muhammad SAW telah menangkap semangat ilmu yang diajarkan oleh Islam yang disampaikan oleh Nabi SAW tetapi semangat tersebut baru menampakkan dampak yang amat luas setelah Nabi SAW wafat. Hadirnya Nabi SAW di tengah-tengah kaum muslimin pada generasi pertama sebagai pemimpin dan tokoh sentral menyebabkan semua situasi dan persoalan-persoalan yang muncul dipulangkan kepada dan diselesaikan oleh Nabi SAW.
B.       Perkembangan Keilmuan Islam
Generasi sesudah Nabi SAW wafat, yang menyaksikan proses berlangsung dan turunya wahyu sehingga berhasil menginternalisasi dan menyerapnya kedalam diri mereka, menilai situasi yang mereka hadapi dengan semangat wahyu yang telah mereka serap. Penilaian terhadap situasi baru yang lebih bercorak intelektual berlangsung pada generasi tabiin dan tabiit (tabi’at-tabi’in) karena metode yang dipakai menyerupai metode ilmu yang dikenal kemudian, bahkan sebagian metode ilmu yang dikenal sekarang berasal dari generasi tersebut. Metode tersebut adalah metode nass, yaitu mencari rujukan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan teks-teks hadits yang sifatnya langsung, jelas dan merujuk pada situasi yang dihadapi atau mencari teks yang cukup dekat dengan situasi atau masalah yang dihadapi bila teks langsung tidak diperoleh. Metode yang lainnya disebut metode kias atau penalaran analogis.
 Menurut pendekatan tersebut pemikiran tentang hukum adalah ilmu yang paling awal tumbuh dalam Islam. Munculnya sejumlah hadits yang digunakan untuk keperluan pemikiran hukum, di samping ayat-ayat Al-Qur’an, menjadikan hadits pada masa-masa tersebut tumbuh menjadi ilmu tersendiri. Dengan alasan yang berbeda dengan lahirnya ilmu hukum, teologi atau ilmu kalam muncul menjadi ilmu yang berpangkal pada persoalan-persoalan politik, khususnya pada masa kekhalifahan Usman bin Affan dan Ali bin Abi Talib. Ilmu kalam semakin menegaskan dirinya sebagai disiplin ilmu tersendiri ketika serangan yang ditujukan kepada Islam memakai pemikiran filsafat sebagai alat. Oleh karena itu, dirasakan bahwa penyerapan filsafat merupakan suatu keharusan untuk dipakai dalam membela keyakinan-keyakina Islam.
Perkembangan ilmu paling pesat dalam Islam terjadi disaat kaum muslimin bertemu dengan kebudayaan dan peradaban yang telah maju dari bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Perkembangan tersebut semakin jelas sejak permulaan kekuasaan Bani Abbas pada pertengahan abad ke-8. Pemiondahan ibukota Damsyik (Damascus) yang terletak di lingkungan Arab ke Baghdad yang berada di lingkungan persiayang telah memiliki budaya keilmuan yang tinggi dan sudah mengenal ilmu pengetahuan dan fisafat Yunani, menjadi alat picu semaraknya semangat keilmuan yang telah dimiliki oleh kaum muslimin.
Pada masa ini umat Islam telah banyak melakukan kajian kritis tentang ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan baik aqli (rasional) maupun yang naqli mengalami kemajuan dengan sangat pesat. Proses pengalihan ilmu pengetahuan dilakukan dengan cara penerjemahan berbagai buku karangan bangsa-bangsa terdahulu seperti bangsa Yunani, Romawi dan Persia serta berbagai sumber naskah yang ada di Timur Tengah dan Afrika, seperti Mesopotamia dan Mesir.
Diantara banyak ahli yang berperan dalam proses perkembangan ilmu pengetahuan adalah kelompok Mawali atau orang-orang non Arab seperti orang Persia. Pada masa itu, pusat kajian ilmiah bertempat di masjid-masjid, misalnya masjid Basrah. Di masjid tersebut terdapat kelompok studi yang disebut Halaqad Al Jadl, Halaqad Al Figh, Halaqad Al Tafsir wal Hadits, Halaqad Al Riyadiyat, Halaqat Lil Syi’ri wal adab dan lain-lain. Banyak orang dari berbagai suku bangsa yang datang kepertemuan tersebut. Dengan demikian berkembanglah kebudayaan dan ilmu pengatahuan dalam Islam.
Pada permulaan Daulah Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan formal, seperti sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non formal yang disebut Ma’ahid. Baru pada masa pemerintahan Harun Al Rasyit didirikanlah lembaga pendidikan formal seperti Darul Hikmah yang kemudian dilanjutkan dan disempurnakan oleh Al Makmun. Dari lembaga inilah banyak melahirkan para sarjana dan ahli ilmu pengetahuan yang membawa kejayaan Daulah Abbasiyah dan umat Islam pada umumnya. Masa ini dicatat oleh sejarah sebagai masa kaum muslimin menyerap khazanah ilmu dari luar tanpa puas-puasnya. Pada mulanya suatu karya diterjemahkan  dan dipelajari karena alasan praktis. Misalnya ilmu kedokteran dipelajari untuk mengobati penyakit khalifah dan keluarganya; untuk mendapatkan kesempurnaan pelaksanaan ibadah, ilmu falak berkembang dalam menentukan waktu shalat secara akurat. Akan tetapi motif awal dipelajarinya ilmu-ilmu tersebut ternyata pada perkembangan selanjutnya mengalami pertumbuhan sedemikian rupa, sehingga tidak lagi terbatas untuk keperluan-keperluan praktis dan ibadah tetapi juga untuk keperluan yang lebih luar, misalnya untuk pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian ilmu yang diserap itu ditambah dan dikembangkan lagi oleh kaum muslimin dengan hasil-hasil pemikiran dan penyelidikan mereka.
Beberapa disiplin ilmu yang sudah berkembang pada masa klasik Islam adalah: ilmu fiqih, ilmu kalam, ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu usul fiqih, ilmu tasawuf, yang biasa disebut sebagai bidang ilmu naqli, ilmu-ilmu yang bertolak dari nas-nas Al-Qur’an dan Hadits. Adapun dalam bidang ilmu ‘aqli atau ilmu rasional, yang berkembang antara lain ilmu filsafat, ilmu kedokteran, ilmu farmasi, ilmu sejarah, ilmu astronomi dan falak, ilmu hitung dan lain-lain.
Pada masa ini dikenal banyak sekali pakar dari berbagai ilmu, baik orang Arab maupun muslim non-Arab. Sejarah juga mencatat, bahwa untuk pengembangan ilmu-ilmu tersebut para pakar muslim bekerja sama dengan pakar-pakar lain yang tidak beragama Islam. Muhammad bin Ibrahim al-Fazari dipandang sebagai astronom Islam pertama. Muhammad bin Musa al-Khuwarizmi (wafat 847M) adalah salah seorang pakar matematika yang mashyur. Ali bin Rabban at-Tabari dikenal sebagai dokter pertama dalam Islam, disamping Abu Bakar Muhammad ar-Razi (wafat 925M) sebagai seorang dokter besar. Jabir bin Hayyan (wafat 812M) adalah “bapak” ilmu kimia dan ahli matematika. Abu Ali al-Hasan bin Haisam (wafat 1039M) adalah nama besar di bidang ilmu optik. Ibnu Wazih al-Yakubi, Abu Ali Hasan al-Mas’udi (wafat 956M), dan Yakut bin Abdillah al-Hamawi adalah nama-nama tenar untuk bidang ilmu bumi (geografi) Islam dan Ibnu Khaldun untuk kajian bidang ilmu sejarah. Disamping nama-nama besar diatas, masih banyak lagi pakar-pakar ilmu lainnya yang sangat besar peranannya dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Besarnya pengaruh bidang keilmuan yang ditinggalkan kaum ilmuwan muslim pada abad-abad yang lampau tidak hanya tampak pada banyaknya nama-nama pakar muslim yang disebut dan ditulis dalam bahasa Eropa tetapi juga pada pengakuan yang di berikan oleh dan dari berbagai kalangan ilmuwan. Zaman kebangkitan atau zaman Renaisans di Eropa, yang di zaman kita telah melahirkan ilmu pengetahuan yang canggih, tidak lahir andil yang sangat besar dari pemikiran dan khazanah ilmu dari ilmuwan musli pada masa itu.
C.      Faktor-faktor Pendorong
Al-Qur’an medorong ummat Islam untuk menjadi sebaik-baik ummat, bukan sebaliknya. Sudah barang tentu kita tidak ingin menjadi seburuk-buruk golongan ummat, akan tetapi kita ingin menjadi “sebaik-baik golongan ummat”, karana Islam mengajarkan untuk menjadi ummat terbaik (khairu ummah).[3] Yakni ummat yang telah memiliki kejayaan dan kemulyaan pada masa silam dan berusaha terus untuk meraih kemajuan, kemulyaan dan kejayaan baru. Maka tentang kemulyaan dimasa silam, Ummat Islam telah mempunyainya. Sekarang kemulyaan dan kejayaan untuk era budaya baru harus diciptakan kembali.[4]
Mengingat landasan ilmu pendidikan Islam ini adalah normativitasi yang terangkum dalam sebuah teks kitab suci, maka sisi ontologi dan aksiologi dalam hal ini lebih dominan, meskipun sisi epistemologi juga perlu diperhatikan. Berbicara tentang epistemologi berarti berbicara tentang bagaimana cara menyusun ilmu pengetahuan yang benar atau yang di istilahkan Hardoyo Hadi dengan filsafat pengtahuan, salah satu cabang fisafat yang mempelajari dan menentukan kodrat dan spoke pengetahuan.[5] Maka dari aspek epistemologi tersebut, hermeneutik nampaknya bisa diterapkan untuk bangunan ilmu ini.
Al-Qur’an yang syarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam perlu untuk di interpretasikan  dalam pencarian kebenaran kontekstual. Dalam hermeneutik, Arkoun membagi model-model teks menjadi dua, yaitu teks pembentuk (naskah Al-Qur’an) dan teks penjelas / hermeneutik (literatur-literatur yang memberikan interpretasi dan penjelas terhadap teks pembentuk yang dimunculkan oleh para pemikir Islam sejak empat abad pertama hijriah hingga sekarang termasuk juga Hadits Nabi SAW).[6]
D.      Karakteristik Pendidikan Islam
1.        Pedidikan Yang Tinggi (sakral)
Pada intinya pendidikan Islam berusaha mempelajari segala hal untuk lebih Rob (Allah). Seluruh aspek-aspeknya didasarkan pada nilai robbaniyah dijabarkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulnya. Dalam hal ini pendidikan Islam merupakan pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang segala hal yang diciptakan dan diajarkan-Nya sehingga bisa membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan secara tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan-Nya. Pendidikan Islam bukan hanya sekedar pemenuhan otak saja, tetapi lebih mengarah kepada penanaman aqidah.
Sementara itu pendidikan Islam oleh Hasan Langgulung, sebagaimana dikutip Azyumardi Azra merupakan suatu proses penyiapan generasi muda, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia sebagai khalifah fil ardl untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.
2.        Pendidikan Yang Komprehensif dan Integral
Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam memiliki beberapa karakteristik yang perlu kita pahami bersama dan dijadikan landasan berpikir serta bergerak dalam kehidupan sehari-hari.
Yang pertama, merupakan agama yang tidak dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu. Islam tidak mengenal sekat-sekat geografis. Hal ini yang menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Hal ini juga sekaligus menegaskan kepada kita bahwa Islam bukanlah agama untuk bangsa Arab saja, seperti yang banyak dikatakan oleh orang-orang sekuler, tetapi untuk seluruh ummat manusia di segala penjuru dunia.
Yang kedua, Islam sebagai penyempurna agama-agama sebelumnya juga berlaku sampai kapanpun, tak perduli di zaman teknologi secanggih apapun. Islam tetap berfungsi sebagai pedoman hidup manusia. Setelah kita paham akan hal tersebut, maka tidak ada lagi istilah bahwa di zaman modern, ajaran-ajaran Islam sudah tidak relevan lagi.
Yang ketiga, Islam mengatur ajaran yang integral, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, dari masalah yang paling pribadi hingga kemasyrakatan dan kebangsaan. Mulai dari adab melakukan kegiatan sehari-hari hingga urusan politik nasional dan internasional. Islam tidak hanya berbicara mengenai masalah ideologi saja, akan tetapi juga mengatur seluruh dimensi kehidupan manusia di sektor ekonomi, sosial, politik, ilmu pengetahuan dan sektor lainnya.
3.        Pendidikan Yang Realistis
Ada fenomena yang muncul dalam masyarakat, Pendidikan Islam adalah suatu konsep utopis yang tidak mungkin dapat diwujudkan, sungguh ini merupakan pandangan yang keliru tentang pemahaman dalam memahami Pendidikan Islam. Karena Pendidikan Islam berjalan dalam bingkai yang jelas dan realistis terhadap kenyataan dalam masyarakat. Hanya saja Pendidkan Islam berpijak pada idealisme keislaman yang kadang disalah pahami oleh pihak pelaksana Pendidikan Islam. Akibatnya idealisme Pendidikan Islam tersebut dipandang sebagai lembaga yang mengutamakan nilai-nilai ukhrawi dan tidak peduli dengan kenyataan yang ada. Tegasnya, Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berjalan seiring dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat dan tetap menjaga nilai-nilai keislaman sebagai landasan berpijak.
4.        Pendidikan Yang Berkontinuitas
Proses pendidikan tidak mengenal istilah “Usai”. Setiap individu wajib belajar sepanjang hayat (long-life education). Hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “menuntut ilmu wajib dilakukan dari buaian sampai ke liang lahat” merupakan konsepsi pendidikan sepanjang hayat dalam makna tidak ada batasan waktu untuk terus belajar mendalami ilmu yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat.
Konsepsi pendidikan sepanjang hayat telah menjadi dasar pijakan dan sekaligus pembuktian dari berbagai konsep pendidikan lain. Seperti yang dinyatakan oleh Sternberg ketika pendekatan triarchic diterapkan pada pendidikan sepanjang hayat ternyata memunculkan gagasan baru tentang hakekat kemampuan intelektual atau bagaimana kemampuan itu diukur (Sternberg, 1997)
5.        Pendidikan Yang Seimbang
Ajaran Islam menekankan aspek keseimbangan dalam segala hal. Seimbang dalam mengoptimalkan potensi akal, ruh dan jasad. Dalam Islam ditegaskan  seorang manusia akan mencapai sukses dalam kehidupannya, mana kala bisa mengintegrasikan seluruh potensinya dengan kadar yang seimbang, baik segi intelektual, emosional, fisikal dan spiritual. Keseimbangan dalam menjalankan aktivitas dunia tanpa mengesampingkan aktivitas yang berorientasi akhirat. Ini adalah salah satu implementasi dari keimanan seseorang akan adanya hari akhir. Setiap aktivitas yang kita jalankan hendaknya selalu didasari oleh motivasi ibadah dan keikhlasan untuk Allah SWT, agar segala yang kita lakukan tidak hanya bermakna duniawi tetapi juga berarti bagi kehidupan akhirat kelak. Prinsip itu yang melatar-belakangi adanya do’a-do’a dalam setiap aktivitas kita sehari-hari, sehingga setiap kegiatan yang secara lahiriah bersifat duniawiyah pun akan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Tidak ada yang sia-sia atau hanya berdampak jangka pendek bagi seorang Muslim. Keseimbangan juga perlu dijaga dalam hal kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat, sehingga seorang manusia tidak berkembang menjadi seorang individualis. Sebagaimana Rasulullah SAW pernah bersabda dalam haditsnya, bahwa “sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain”. Kontribusi sosial menjadi ukuran dari lurusnya komitmen individual kita.
6.        Pendidikan Yang Tumbuh dan Berkembang
Pengembangan Ilmu Pengetahuan yang telah dikuasai harus diberikan dan dikembangkan kepada orang lain. Nabi Muhammad SAW sangat membenci orang yang memiliki ilmu pengetahuan tetapi tidak mau memberi dan mengembangkan kepada orang lain,Barang siapa ditanya tentang sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikan (tidak mau memberikan jawabannya), maka Allah mengekangkan (mulutnya), kelak dihari kiamat dengan kekangan (kendali) dari api neraka(H.R. Ahmad).
Selain itu pendidikan Islam yang bersumber dari Al-Qur`an dan Hadits wajib dikembangkan dan diaplikasikan dalam berbagai bidang ilmu sesuai kebutuhan manusia selama tidak bertentangan dengan kaidah agama Islam.
7.        Pendidikan Yang Global / Internasional
Islam selalu sesuai untuk semua bangsa, zaman dan keadaan. Sebagai agama yang universal (rahmatan lil ‘alamin) Islam dapat diterima oleh semua golongan, suku bangsa, karena Allah SWT sudah menurunkan Al-Qur’an yang isinya tentang segala hal yang akan diperlukan manusia pada jaman dulu, sekarang dan masa yang akan datang, oleh siapapun dan dimanapun.

E.       Landasan Epistemologi Keilmuan Islam
Epistemologi secara kebahasaan berasal dari term Yunani (Greek), episteme yang sepadan dengan term knowledge : logos : dan account. Epistemologi atau theory of knowledge ini sering diuraikan sebagai is that branch of philosophy which concerned with nature and scope of knowledge, its presupposition and basis and general reliability of claim to knowledge.[7]
Sebelum membangun ilmu pendidikan Islam dengan menggunakan epistemologi yang ada, maka terlebih dahulu perlu diketahui apakah yang dimaksud dengan pendidikan Islam. Ahmad D. Marimba menyatakan bahwa Pendidikan Islam merupakan bimbingan jasmani berdasarkan hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian menurut ukuran Islam.[8] Selanjutnya M. Arifin menambahkan bahwa Pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengajarkan, mengarahkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.[9] Dari sini dapat diketahui bahwa Pendidikan Islam dan segala hal yang berhubungan dengannya harus didasarkan pada ajaran Islam itu sendiri yang menurut Nur Uhbiati berlandaskan pada Al-Qur’an sebagai kitab suci ummat Islam dan juga hadits Nabi SAW.[10]
Bidang epitemologis tersebut menempati posisi yang sangat strategis, karena ia membicarakan tentang cara untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui cara yang benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutannya kepiawaian dalam menentukan epistemologis, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang dihasilkan. Secara umum epistemologi dalam Islam memiliki tiga kecenderungan yang kuat, yaitu bayani, irfani dan burhani.
F.       Perjumpaan Keilmuan Islam dengan Ilmu Pengetahuan Barat
Berangkat dari Heilenisme Yunani yang spekulatif-kontemplatif, para sarjana muslim pada masa kejayaannya leluasa menyerap kemudian memodifikasi menjadi tradisi filsafat sains yang berangkat dari postulat-postulat Al-Qur’an dengan mengetengahkan tradisi berpikir empirikal-eksperimental. Usaha tersebut dilakukan dengan mendayagunakan perangkat-perangkat intelektual sebagai jalan mencari jawaban tentang hakekat realitas, baik yang nyata (fisis) maupun yang goib (metafisis). Dari revolusi filsafat ditangan kaum muslimin tersebut lahirlah konsep ilmu atau sains yang tegak di atas postulat-postulat Al-Qur’an.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sanjana-sarjana muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. “Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah”, Simpul H. G. Wells, “Maka orang Muslim adalah bapak angkatnya”. Dalam perjalanan sejarah, lewat orang Musliminlah dan bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.
Dalam perspektif falasifah, fisafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam, disini bukan filsafat, yang dipahami sebagai sistem rasional pemahaman (inteleksi) dan wahyu yang dirumuskan secara bebas dan agama yang dipahami sebagai tradisi wahyu secara total. Al Kindi sebagai filsuf muslim pertama memandang bahwa filsafat haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Ia yang berupaya pertama kali menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua aktivitas intelektual yang bisa sarasi.
Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam melalui filsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir.kebudayaan dan filsafat Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi Alexander yang Agung ke Timur di abad ke-4 sebelum Kristus. Politik Alexander untuk menyatukan kebudayaan Yunani dan Persia meninggalkan bekas basar di daerah-daerah yang pernah dikuasainya dan kemudia melahirkan pusat-pusat kebudayaan Yunani di Timur seperti Iskandariah, Antioch, Harran, Edessa, Qinnesrin dan Nasibin.
Di Zaman Bani Umayyah, karena perhatian lebih banyak tertuju kepada kebudayaan Arab, pengaruh kebudayaan Yunani terhadap Islam belum begitu kelihatan. Pengaruh baru nyata kelihatan di masa Bani Abbas, karena yang berpengaruh di pusat pemerintahan bukan lagi orang-orang Arab, tetapi orang-orang Persia, seperti keluarga Baramikah, yang telah lama berkecimpung dalam kebudayaan Yunani.
Khalifah-khalifah Bani Abbas pada mulanya tertarik pada ilmu-ilmu kedokteran Yunani dengan cara pengobatannya yang baik dan mujarab, kemudian mereka tertarik pula kepada ilmu-ilmu pengetahuan lain dan filsafat. Perhatian pada filsafatmeningkat di zaman Khalifah al Ma’mun (813-833M), putra Harunal Rasyit. Utusan-utusan dikirim ke kerajaan Bizantium untuk mencari manuskrip yang kemudian dibawa ke Bagdad untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Untuk keperluan tersebut al Ma’mun bahkan menetapkan kebijakan resmi bagi aktivitas ‘penggarapan’ karya-karya filsafat, sains dan kedokteran Yunani. Sebagai khalifah yang cerdas dan cemerlang, Al Ma’mun mendirikan Bait al-Hikmah (Rumah Hikmah) di Bagdad pada 830M sebagai perpustakaan dan institut penerjemahan. Bait al Hikmah yang dipimpin oleh Yuhanna Ibn Masawaih (w. 857) dan tak lama kemudian digantikan oleh muridnya Hunain Ibn Ishaq (w. 873) adalah institut terbesar sepanjang sejarah penerjemahan karya-karya filsafat dan kedokteran Yunani.
Dengan kegiatan penerjemahan tersebut, sebahagian besar dari karangan-karangan Aristoteles, sebahagian karanga-karangan Plato serta karangan-karangan mengenai neo-Platonisme, sebahagian besar dari karangan-karangan Galen serta karang-karangan dalam ilmu kedokteran lainnya dan juga karangan-karangan mengenai ilmu pengetahuan  Yunani lainnya dapatlah dibaca oleh alim ulama Islam.
Gerakan terjemah yang berlangsung dalam tiga fase, Fase pertama, pada masa khalifah Al Mansyur hingga harun Ar Rasyid dalam menerjemah karya-karya di bidang astronomi dan mantiq. Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah Al Ma’mun hingga tahun 300 H, buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.
Pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam . pada masa ini pendidikan Islam berkembang sebagai akibat dari hal tersebut dan merupakan jawaban terhadap tantangan yang diakibatkan oleh perkembangan dan kemajuan-kemajuan budaya Islam sendiri yang berlangsung sangat cepat. Tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam dengan cepat, merupakan ciri pendidikan Islam masa ini. Pertumbuhan dan perkembangan pada tahap awalnya memang merupakan perpaduan antara unsur-unsur pembawaan ajaran Islam sendiri dengan unsur-unsur yang berasal dari luar, yaitu dari unsur budaya Persia, Yunani, Romawi, India dan sebagainya. Kemudian dalam perkembangannya potensi atau pembawaan Islam tidak merasa cukup hanya menerima saja unsur budaya dari luar tersebut, kemudian mengembangkannya lebih jauh sehingga kemudian warna dan unsur-unsur Islamnya nampak lebih dominan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan keagamaan saja, tetapi juga dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan pada umumnya.[11]
Metode berpikir yang digunakan oleh filosof Yunani memberikan motivasi bagi ilmuan muslim untuk lebih banyak berkarya dalam kemajuan pendidikan Islam,
sehingga muncul ilmuwan seperti Jabir ibn Hayyan, Al Kindi, Al Razi, Khawarizmi, Al Farabi, Ibnu Umar Khayyam, Ibnu Rusyd dan sebagainya.[12] Golongan yang banyak tertarik dengan filsafat Yunani adalah kaum Mu’tazilah, Abu Al Huzail, Al Nazzam, Al Jahiz, Al Jubba’i dan lain-lain banyak membaca buku-buku filsafat Yunani dan pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran-pemikiran teologi mereka. Di samping kaum Mu’tazilah segera pula muncul filosof-filosof Islam.
Al Ghazali merupakan filosof besar terakhir di dunia Islam bagian Timur. Di Indonesia, sosok ini sangat terkenal dengan kitab Ihya’nya. Nama lengkap Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad Ibn Muhammad Al Ghazali lahir di Ghazelah, suatu desa di Tus di daerah Khurasan (Persia) pada tahun 1059 dan wafat di Nisyafur pada tahun 1085 M. Di dunia barat abad pertengahan Al Ghazali dikenal dengan nama Abuhamet dan Algazel. Di dunia Islam ia diberi gelar Hujjatul Islam.
Pasca Al Ghazali, filosof-filosof besar selanjutnya muncul di Andalusia. Satu filosof terbesar yang dihasilkan adalah Abu Al Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Rusyd. Ia lahir di Cordova pada tahun 1126 M. Di masa mudanya Ibn Rusyd belajar teologi Islam, hukum Islam, Ilmu Kedokteran, Matematika, Astronomi, Sastra dan Filsafat. Buku-buku Ibn Rusyd mengenai falsafah Aristoteles banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan berpengaruh bagi ahli-ahli pikir Eropa sehingga diberi gelar Penafsir (Comentator), yaitu penafsir dari fisafat Aristoteles. Kalau di Barat Ibn Rusyd dikenal sebagai dokter dan penafsir filsafat Aristoteles, di dunia Islam ia dikenal sebagai ahli hukum dan filosof yang membela rekan-rekannya dari kritik dan serangan Al Ghazali.
Setelah kematian Ibn Rusyd, tradisi permenungan di kalangan Muslim agak meredup namun bukan berarti mati. Di belahan Timur terutama Persia sebagaimana diungkap pengkaji filsafat Islam terkemuka, Henry Corbin (1993) Averroisme (Ibn Rusyd) memang telah menghilang tanpa jejak, namun kritik Al Ghazali atas fisafat tidak pernah dianggap berhasil mengakhiri tradisi yang dikembangkan oleh Avicenna (Ibn Sina).
Di Persia fase kebangkitan filsafat ditandai dengan kolaborasinya yang indah dengan mistisme yang dikenal dengan filsafat Persia atau Isyraqi. Diresmikan oleh Al Suhrawardi (1155-1191 M), fase ini ditandai oleh usaha positif untuk mendamaikan filsafat dan mistisme, dengan cara yang pernah disuarakan oleh Ibn Sina (980-1037M) namun belum sempat di implementasikannya. Tradisi Isyraqi ini kemudian memuncak pada sosok Mulla Sadra (1571-1640) dengan hikmat transendentalnya. Kesinambungan tradiasi Isyraqi di Iran pada masa sekarang dibuktikan oleh kehadiran sejumlah besar institut teologi di Qum, Masyad dan Teheran ataupun di Najaf, Irak yang melanjutkan tradisi keilmuan filsafat dan teologi Isyraqi dan sejumlah ilmuan yang terus meneliti karya-karya para guru Isyraqi.
Fisafat sebagai satu bagian yang sah dari Islam, memang memiliki varian yang beragam sebagaimana dijelaskan di atas. Keberadaannya seringkali dicurigai bahkan dimusuhi karena dianggap sebagai saingan agama. Namun sebagaimana ditulis Fazlur Rahman (1985 : 190), filsafat bukanlah saingan agama atau teologi sebagaimana pandangan yang digencarkan oleh kelompok revivalisme atau ortodok Islam, tetapi filsafat pasti berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia (world view) berdasarkan Al-Qur’an dengan bantuan alat-alat intelektual yang separuhnya disediakan oleh filsafat.[13]

BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Bahwa pertumbuhan dan perkembangan keilmuan dalam Islam dimulai dengan kegiatan pengkajian-pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah yang notabene sebagai sumber keilmuan Islam. Dimana tradisi pengkajian ini sudah berlangsung sejak zaman Rasulullah SAW, yang diteruskan oleh generasi sahabat, tabi’it tabi’in, hingga saat ini. Kegiatan pengkajian ini didorong oleh spirit keberagamaan yang kokoh, disamping merupakan kewajiban agama untuk mengkaji dan menelaah materi agama secara benar. Kegiatan pengkajian yang tiada hentinya itu pada akhirnya menghasilkan beragam keilmuan Islam sebagai wujud peradaban ummat Islam yang luar biasa, terutama pada zaman keemasan Islam “the golden age”.
Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII. Semangat mencari kebenaran yang dimulai oleh pemikir-pemikir Yunani dan hampir padam dengan jatuhnya kekaisaran Romawi dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. “Jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah”, simpul H.G Wells, “maka orang Muslim adalah bapak angkatnya”. Dalam perjalanan sejarah lewat orang Muslimlah dan bukan lewat kebudayaan Latin, dunia modern sekarang ini mendapatkan kekuatan dan cahayanya.



DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Prof. Dr., 2004, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, cet-1.
Nur Uhbiati, 1997, Ilmu Pendidikan Islam, Bandung : Pustaka Setia.
Noeng Muhadjir, 1998, Filsafat Ilmu Telaah Sistematis Fungsional Komperatif,  Yogyakarta : Rake Sarasin.
Murodi, dkk., 2003, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang : PT. Toha Putra.
Qardhawi, Yusuf, Sistem Masyarakat Islam dalam Al-Qur’an & Sunnah
http://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05/bahan kuliah dinamika pemikiran dalam Islam/, diakses 08 September 2013
M. Arifin, 1993, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara.
Mansur, 2005, Rekonstruksi SPI di Indonesia, Depag RI Dirjend Kelembagaan Agama Islam.
M. Arkoun, 2000, Membedah Pemikiran Islam, diterjemahkan oleh Hidayatullah,   Bandung : Pustaka.
Faisal Ismail, 1998, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, Yogyakarta : Titian Ilahi Press.
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Pendidikan, Bandung : Mandar Maju.
Ahmad D. Marimba, 1987, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung : Al Ma’arif.


[1] M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Pendidikan (Bandung : Mandar Maju, 1994), hal. 12-14
[2] Ibid.
[3] Al-Qur’an, Surat Ali Imran, ayat. 110
[4] Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi Historis, (Yogyakarta : Titian Ilahi Press), hal. 263
[5] Hardoyo Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta : Kanisus, 1994), hal. 5
[6] M. Arkoun, Membedah Pemikiran Islam, diterjemahkan oleh Hidayatullah (Bandung : Pustaka, 2000), hal. 234
[7] http://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05/bahan kuliah dinamika pemikiran dalam Islam/, diakses       08 September 2013
[8] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung : Al-Ma’arif, 1987), hal. 23
[9] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 1993), hal. 15
[10] Nur Uhbiati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung : Pustaka Setia, 1997), hal. 24
[11] Mansur, Rekonstruksi SPI di Indonesia (Depag RI Dirjend Kelembagaan Agama Islam, 2005), hal. 21-27
[12] Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet-I,        hal. 170
[13] http://sanaky.staff.uii.ac.id/2009/02/05/bahan kuliah dinamika pemikiran dalam Islam/, diakses      08 September 2013
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.